TRADISI DAN BUDAYA


GOTONG-ROYONG DAN TANGGUNG JAWAB

Sudah banyak sekali sorotan yang membahas tentang gotong-royong. Dari semua itu terdapat opini umum bahwa gotong –royong adalah warisan tradisional yang turut mewarnai corak masyarakat kita. Sikap hidup dan mentalitas masyarakat kita banyak sedikitnya dipepengaruhi oleh jiwa gotong-royong. Tetapi karena gotong-royong itu warisan, maka pola-pola sikap dan pemikiran yang ada masih bisa merupakan lanjutan dari yang dulu.Dalam perkembangannya dapat pula terjadi pergeseran nilai-nilai atau kaburnya nilai-nilai yang seharusnya terkandung di dalamnya.Gotong-royong seperti yang di peraktekan sekarang memiliki banyak kelemahan, kalo mau disejajarkan dengan ritme perkembangan dewasa ini.Banyak aspek yang tidak sesuai dengan hukum-hukum perkembangan modern yang dijalankan dengan perhitungan yang tel;iti dan bijaksana.Kritik atas gotong-royong terutama berkisar pada “corak statisnya dan bahwa semangat gotong-royong sukar mengijinkan timbulnya energi perseorangan si atas ukuran umum”.

Tentu benar ada pendapat ahli yang mengatakan bahwa mentalitas yang berdasarkan jiwa gotong-royong selain dapat membantu, bisa juga menghambat lancarnya pembangunan. Karena itu, bagaimanapun juga gotong-royong tidak bisa diterapkan begitu saja dalam usaha pembangunan sekarang.Ia harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Memang ini tidak mudah, tapi perlahan-lahan harus diwujudkan. Jika tidak, ia hanya merupakan kedok, basa-basi dalam pembicaraan atau merupakan air keruh, di mana segelintir orang mencari keuntungan dari padanya. Kita harus berhati-hati memanfaatkan semangat gotong-royong demi suksesnya pembangunan. Bukan penting menumpukan manusia dalam usaha pembangunan, tetapi lebih penting kesadaran pribadi masing-masing kita untuk apa kita bekerja bersama-sama.

Spontanitas Gotong-royong

Kira-kira 90% masyarakat kita NTT pada umumnya terkhusus masyarakat kita di Adonara hidup di desa-desa kecil. Dalam masyarakat desa, corak hidup pada umumnya cukup homogen dan peran individu belum terlalu di tonjolkan. Justru di sana semangat gotong-royong ini nyata jelas. Orang-orang sedesa merasa satu dalam tindakannya ke dalam atau ke luar. Tiap orang tergantung satu sama lain dalam sikap “saling memberi dan menerima”Contohnya: seorang bapak yang tidak ikut serta dalam suatu kegiatan (gemohing) di desanya, maka dengan sendirinya ia akan merasa tersingkir dari masyarakat. Melihat hal ini, semacam ada keharusan untuk sama-sama membuka kebun dan mengolah tanah, tolong-menolong dalam kesulitan, kemalangan atau pada saat pesta/perayaan. Katakanlah; seluruh kegiatan hidup manusia selalu dikaitkan dengan masyarakat dalam semangat ini.
Akan tetapi bila dilihat secara saksama, nampak adanya perbedaan dalam sikap tolong-menolong itu. Orang akan secara spontan membantu sesamanya yang dalam penderitaan, kecelakaan atau pun kesusahan tanpa mengharapkan balasan. Sebaliknya bergotong-royong dalam produksi pertanian, pembengunan rumah, jalan dan lain-lain kerap dijalankan dengan perhitungan membantu agar dibantu. Orang sering terpaksa bergotong-royong dan mengurbankan kepentingannya yang mungkin lebih produktif demi memelihara hubungan baik antar sesama. Orang datang hanya untuk menunjukan muka atau memenuhi tuntutan ikatan kemasyarakatan. Corak gotong-royong seperti ini mungkin akan tetap ada dalam masyarakat kita.Karena adanya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan kita yang sangat di jaga keutuhannya.
Spontanitas dalam bekerja sama dan tolong-menolong adalah salah satu sapek yang asasi. Kerelaan untuk turun tangan membantu harus lahir dari kemauan sendiri dan bukan paksaan lingkungan atau adat yang mengikat.Tetapi dalam masyarakat kita tuntutan adat masih sangat di hormati. Kita sendiri bisa melihat kenyataan itu dalam hidup keseharian masyarakat kita.
Namun kadang dengan sikap gotong-royong ini masyarakat kehilangan gairah dan inisistif untuk bekerja sendiri. Misalnya: dalam mengerjakan kebun, tiap orang mengatur diri sendiri ke mana dan bersama siapa dia mau bekerja sama. Tunggu saja, nati sama-sama.
Selama alam masih memanjakan kita, sikap semacam ini barangkali kurang dirasakan membawa kerugian.Tetapi untuk mencapai hasil yang lebih efisien, tiap pribadi harus menentukan dan melaksanakan sendiri hidupnya. Meningkatnya kebutuhan dan kemajuan dari hari ke hari perlahan-lahan membuka mata para petani kita, bahwa gotong-royong tradisional yang mereka jalankan berupa pegerahan tenaga dan kadang merigikan.

Konsekuensinya

Konsekuensi dalam gotong-royong perlu di bentuknya grup-grup kerja sama dengan jumlah anggota terbatas. Lebih lagi kalau semangatnya datang dari kehendak mereka sendiri. Ini juga satu langkah dalam menentukan cara hidupnya sendiri yang mulai dipertanggungjawabkan. Kebebasan individu memungkinkan manusia hidup dan mengembangkan diri sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap masyarakat. Tiap orang harus sadar bahwa dia bekerja sama denga orang lain demi memperbaiki diri dan masyarakat. Sifat konform dari gotong-royong tradisional tidak merangsang kemajuan.Karena hasil dan prestasi besar yang dicapai merupakan perangsang dari pembangunan dan kemajuan.
Disinilah letak tanggung jawab pribadi dalam bergotong-royong. Kita bekerja dan membangun dalam suatu kerja sama untuk lebih memanusiakan diri dan lingkungan kita dan tidak mau membiarkan sesama kita tinggal sendirian dalam kemelaratan. Kita dapat saling bersaing karena mau menjadi lebih baik. Duduk bermalas-malas dan ngobrol menghabiskan waktu bukan gotong-royong. “Time is money”-waktu adalah uang. Waktu merupakan alat pengukur dan menilai suatu pekerjaan. Bertanggung jawab dalam menggunakan waktu berarti menghargai diri kita sendiri dan menghargai sesama yang kita bantu. Di samping itu dalam bekerja sama bertanggung jawab berarti berani bertindak sendiri dan menerima resiko. Sikap “saling mengharap dan saling menunggu” adalah suatu cara mau menutup diri dari orang lain. Takut bertindak sendiri membuat orang tak banyak kreatif.

Sekedar Saran

Kita sadar bahwa kita hidup dalam masa serba canggih dan cepat berubah. Dalam masa transisi sering timbul ketidakseimbangan antara hasrat keinginan untuk maju dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Di satu pihak kita mau cepat mengejar kemakmuran, tetapi di pihak lain kita masih berpegang teguh atau mencari pegangan pada pola-pola tradisional. Kita boleh berbangga mewarisi harta pusaka yang bernilai -semangat gotong-royong- tetapi tanpa menanam tanggung jawab pribadi di dalamnya, kita bisa kecewa. Dengan dan dalam tanggung jawab, orang berani mengubah dan mengatasi situasi hidupnya.
 
 
 
 
 
KONTRADIKSI KEMAJUAN DAN KEBUDAYAAN

Oleh kemajuan teknik manusia merasa kagum dan menyatakan bahwa ada kemajuan.Tetapi anehnya bahwa orang tidak menghiraukan apa manusia seluruhnya mendapat kebahagiaan atau tidak dengan hasil kemajuan itu.Teori evolusi Darwin secara optimis mengatakan bahwa perubahan selalu menjuju pada perbaikan pada mereka yang tangkas dan menghilangkan apa yang tidak berguna.Dalam arti ini kita berbangga atas kemajuan abad ini.           
Orang berharap bahwa perubahan sosial selalu menuju ke arah kemajuan ini berarti menambah kebahagiaan hidup, kemerdekaan berpikir, bebas dari rasa takut, kegelapan dan kemiskinan, sehingga "declaration of human right" berhasil terungkapkan.kenyataannya terbalik. Sering "cultural change" membawa akibat "cultural lag" bagi segi-segi kehidupan manusia.
Kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial, politik bukan membebaskan manusia dari belenggu kekurangan ekonomis, politik, dan berguna untuk mempertahankan kesatuan hidup kemasyarakatan tetapi seolah-olah membenarkan teori Hobbes "Homo homini lupus".
Di sini kita bertemu lagi kemunduran abad.Manusia membangun kemasyarakatan untuk kesempurnaan dan kemerdekaan hidupnya.Penindasan dalam lapangan ekonomi mengakibatkan manusia-manusia lapar,penindasan ini merampas syarat-syarat elementer untuk hidup manusia itu sendiri.Tekanan sosial-politik mengakibatkan manusia kehilangan rasa untuk merdeka.
Manusia moderen mendasarkan motivasi, patokan dan tujuan hidupnya pada kemajuan. Kemajuan abad ini mempengaruhi masyarakat untuk mengharapkan segala-galanya dari kemajuan yang terus-menerus dan tak terbatas.
Kemajuan ini di artikan sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari paksaan-paksaan alam atau pun dari belenggu-belenggu sosial.Kemajuan dianggap sebagai prasyarat dan sekaliguis sebagai ukuran dari kebebasan manusia.
Berkat alat-alat informasi dan kemajuan teknologi moderen, perkembangan pengetahuan dan taraf hidup semakin tinggi, pandangan tenteng kemajuan itu di sebarluaskan, sehingga kemajuan menjadi suatu ideologi umum. Meskipun demikian sering timbul keraguan tentang nilai dan hasil dari kemajuan itu. Sering orang tidak puas dengan kemajuan itu sendiri.
Kemajuan yang tidak memberi kepuasan di sini adalah kemajuan yang kuantitatif ekonomis belaka. Kemajuan semacam ini tidak akan memuaskan, bahkan akan  mengakibatkan hal-hal yang merugikan. Maka di usahakan suatu kemajuan yang kualitatif; bukannya menghasilkan banyak/aneka produksi dan konsumsi, melainkan maningkatkan mutu serta ketulusan dalam hubungan manusiawi,
Penyebarluasan ilmu pengetahuan serta kebudayaan, penukaran jasa-jasa dan kerja sama untuk kepentingan bersama.Namun seringkali masyarakat kita jadi korban kemajuan teknologi.
Kesalahan masyarakat kita yang manyebabkan mereka menjadi korban kemajuan teknologi ini bukan terletak pada barang-barang melainkan pada jiwa masyarakat kita sendiri.Sumber kesalahan ini tidak terletak pada ciptaan-ciptaan manusia yang sudah berobyek di luar manusia. Arti dari peran barang-barang itu selamanya di tentukan oleh manusia itu sendiri.Manusialah yang mengatur, manusialah yang mengubah.Sehingga kesalahan yang menyebabkan masyarakat kita jadi korban teknologi adalah terletak pada masyarakat kita sendiri.
Perubahan sistem nilai, pergeseran baik-buruk mutu hidup “the quality of life" (Umar Kayman), ini berarti juga menyangkut proses petalihan indentifikasi. Pada titik ini kita menemukan krisis kepribadian.Bagaimana dengan usaha kemajuan?????
Sikap kita di sini bukan menciptakan situasi desintegrasi kepribadian personal atau masyarakat, tetapi harus bersifat integratif, terbuka. Terbuka dengan hal-hal yang baru dan bersiap melakukan perubahan.Tetapi sikap ini tidak sama dengan "whole hearted accep-tance" atau herodianisme (Ruslan Abdul Gani; Nasionalisme Asia.)
Juga tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk mengambil sikap mundur, lari ke kejayaan masa silam. Intergasi kultural, juga terhadap kebudayaan kita,tidak membutuhkan baik "whole hearted accep-tance" maupun pelarian, karena suatu penerimaan tak kritis dari semua inovasi asing, maupun suatu pelarian menuju ke masa silam yang gemilang, tak dapat memecahkan kebutuhan akan suatu integrasi kebudayaan yang baru.
Sikap terbuka berarti menerima unsur-unsur baru secara kritis selektif, untuk selanjutnya ditafsirkan, diintegrasikan ke dalam nilai-nilai kebudayaan sendiri.
Maka masalahnya bukan lagi terletak pada mempertahanksn atau menolak nilai-nilai tradisional karena masuknya nilai-nilai baru, melainkan pada soal "bagaimana menciptakan suatu modus kehidupan dengan tradisi, tanpa membiarkan dirinya terjebak oleh tradisi itu"(Soedjatmoko, The Intellectual In Developing Nation).
Tradisi juga mereupakan alat yang hidup mampuh melayani kebutuhan manusia.Malah penting dalam mambimbing suatu pergaulan bersama dalam masyarakat.Oleh kerena itu, sikap yang menolak nilai-nilai tradisional adalah ketiadaan pengertian akan nilai hidup beresama.
Nilai tradisional mampuh menyokong pembangunan. Soalnya, bagaimana manusia menafsir kembali, mencerna dan menerapkannya sesuai dengan kemajuan zaman ini.Filsafat pembengunan berorientasi pada perkembangan dan kemajuan.
Kemajuan sejati berarti perkembangan berdasarkan kesadaran etis.Manusia harus lebih mampuh bertanggungjawab dan membuka diri terhadap sesama. Dan karena manusia itu "roh yang membadan" maka perlu keterbukaan dan menyerahkan semua karya kepada Tuhan sehingga dengan demikian kemajuan berarti pembebasan.
Zaman kita ditandai oleh perkembangan dan kemajuan dalam segala bidang kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi modern membuat dunia ini semakin mega. Jaringan telekomunikasi yang semakin lancer membuat dunia ini semakin kecil untuk di jangkau. Sementara itu berbagai ideologi dan informasi membanjir ke seluruh kota, bahkan menyusup sampai di dusun-dusun terpencil.
Dalam situsai ini orang seakan-akan kehilangan “sense of direction-nya” dan terkadng menjadi bingung dan ragu-ragu sebab banyak sikap tradisional ikut dipersoalkan.Otoritas adat-istiadat serta penjamin-;penjamin tata cara hidup tradisional masyarakat mulai goyah kedudukannya.Nilai-nilai lama tidak lagi diakui karena adanya pola-pola alternatif. Pegangan yang pasti seakan-akan tidak ada lagi. Terciptalah suatu iklim yang meliputi kebingungan dan kebimbangan. Orang mulai mencari orientasi baru tempat mereka berlindung dan mengharapkan fajar baru yang menyelamatkan di mana mereka akan merasa aman dan tenteram karena tempat mereka berpijak sudah kembali ada.
Lalu muncul segelintir orang yang sorak-sorai sambil tersenyum lega. “Wah..! Fajar baru kini terbit.Harapan-harapan baru bakal datang dan membuahkan kenyataan. Kita terbebas dari nilai-nilai tradisional yang kaku dan pekat itu. Kita maju dan berkembang dalam kerangka pemikiran yang baru, yang modern dan lebih up to date”.
Sampai sekarang kita sama sekali tidak bermaksud menolak usaha-uasha modernisasi semacam itu. Malah kita harus membuka pintu demi suatu pembaharuan yang sehat dan positif. Sebab mengunci pintu dan hati di tengah simpang-siurnya proses serap-menyerap antara nilai masa kini adalah suatu usaha yang tidak pada tempatnya dan usaha yang sia-sia. Namun sikap yang mengeksklusifkan nilai-nilai budaya kita yang asli meruipakan tindakan yang kurang bijaksana bahkan disebut sebagai suatu tindakan pengkihanatan.Kita terkadang “terbius”oleh sesuatu yang ada di luar kita sambil pelan-pelan “merasa asing” terhadap nilai-nilai khas budaya kita sendiri yang sebenarnya sudah menjadi darah daging kita yang merupakan “rule of game” dalam dan antara kita (Vinsen Jolasa).Dengan kata lain nilai-nilai modern jangan sampai membuat kita asing terhadap nilai-nilai budaya kita sendiri. Malahan kita boleh mengatakan bahwa nilai-nilai budaya asli kita bukanlah nilai-nilai yang dapat disingkirkan begitu saja, tetapi justru harus diperhitungkan dalam usaha sintese yang baru. Jadi pengharapan yang “wajar” terhadap nilai budaya bangsa kita adalah sikap yang wajar dan pada tempatnya; namun dijaga agar akhirnya tidak bersifat ekstrim.
Dalam dunia yang dilanda oleh usaha-usaha “dialog”, dibicarakan pentingnya nilai-nilai khas budaya dari pribadi atau bangsa yang bersangkutan. Sebab dalam dialog bukan saja unsure-unsur yang sama yang mempersatukan semua pihak, tetapi juga terbuka dan mau mendengarkan nilai-nilai khas/perbedaan dari masing-masing pihak demi saling memperkaya dan memperluas horizon pandangan, sambil memupuk rasa saling menghargai kekhasan masing-masing. Itu berarti bahwa sebelum kita terlibat dalam suatu usaha dialog seperti itu kita terlebih dahulu “kembali” untuk meneliti nilai-nilai budaya asli kita yang sudah lama mengendap dalam hati kita yang mewarnai seluruh pola tingkah laku kita..
Menyadari pentingnya nilai-nilai khas budaya bangsa kita dalam usaha-usaha seperti itu maka perlu suatu usaha pendalaman terhadap nilai-nilai khas budaya kita. Usaha-usaha seperti ini bukanlah suatu usaha yang mudah dan untuk itu perlu orang-orang yang terdidik. Karena itu usaha-usaha pendidikan yang berorientasi kepada nilai-nilai budaya bangsa kita merupakan suatu usaha yang dipupuk dan malah harus ditingkatkan.
Akhirnya suatu sikap yang tepat dalam perubahan seperti di atas sangat dibutuhkan agar kita tidak terseret begoitu saja dalam arus aliran massa tanpa suatu sikap kritis yang reflektif sambil menyingkirkan nilai-nilai khas sisio-budaya bangsa kita sendiri yang mengakibatkan kita sendiri merasa “asing” terhadap nilai-nilai sosio-budaya kita sendiri. Karena itu kita perlu bertanya : Entah kita sedang berada dalam proses menjauhkan diri dari nilai-nilai budaya kita sehingga kita merasa asing terhadapnya??? Atau malah kita berada dalam proses “kembali mencintai” nilai-nilai budaya bangsa kita yang sudah lama kita tinggalkan dalam praktek hidup kita demi suatu usaha seinesa yang baru????
 

Tidak ada komentar:

Pengikut